Cerita ini
terjadi bertahun-tahun lalu, kiranya hampir 10 tahun. “Goolllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllll........!!!!!!”
semua berteriak, semua melompat kegirangan, dari anak-anak, orang tua, pakdhe-budhe,
mas-mbak, om-tante, preman sampe Pak Ustad larut dalam keceriaan dan kebahagiaan
akibat gol yang dicetak Ori Kambuaya sang ‘mutiara hitam’ yang tersesat sampai
ke Lembah Tidar. Kalangan sepak bola sekitar Magelang pasti tak ada yang tak
ingat siapa Ori Kambuaya, kala itu semua harapan di lini depan PPSM tertumpu
pada pemain asal Papua ini. Selain Ori Kambuaya ada juga Danang Yulianto, local heroes asal Tuguran--sebuah
kampung kecil di utara Kota Magelang. Danang pandai mengatur lini tengah,
selain itu tendangannya keras dan terarah sehingga skill tendangan bebasnya aduhai. Pemain yang menjadikan kita semua
warga Magelang bangga memilikinya, walaupun mungkin namanya tak semoncer
Kurniawan Dwi Yulianto di tingkat nasional dan internasional. Namun saat itu
para pecinta PPSM harus merelakan Danang yang memilih meninggalkan Magelang untuk
pindah klub dan bermain di liga kasta teratas. Dilema besar terjadi untuk para
pecintanya, memang menjadi sebuah kebanggaan ketika ada pemain asli Magelang bermain
di klub teratas, namun hilangnya ‘tulang rusuk’ di lini tengah cukup membuat
kita baper maksimal.
Ups, sori kebablasan. Yang akan saya ceritakan disini bukan tntang pemain-pemain ‘legend di hati saya’ itu tetapi mengenai “Keceriaan Mendukung Sang Macan”. Saat itu adalah masa-masa dimana PPSM masih bermain di Divisi 3 Regional Jawa Tengah. Tak banyak orang diluar sana yang tahu tentang klub berlogo paku dengan perisai merah-kuning ini. Tapi tidak untuk saya. Saya sudah mengenal PPSM sejak sekitar tahun 2002, dimana menonton PPSM saat itu tiketnya masih murah dan dapat bonus FIT UP satu tablet. Saat di Divisi 3 Regional Jawa Tengah juga tetap masih banyak orang belum tahu tim berjersey oranye ini. Tapi apa peduli saya! Yang saya tahu hanya kapan jadwal PPSM berlaga dan menyempatkan diri datang ke stadion membeli tiket, lalu duduk manis di tribun barat Stadion Abu Bakrin ataupun memilih berdiri dan bernyanyi bersama banyak pendukung PPSM lain yang datang dari seluruh penjuru Magelang. Yups, Magelang yang tidak hanya dari ‘Kota Magelang’ saja (sejatinya memang PPSM adalah milik warga Magelang keseluruhan dan tak pernah disebutkan hanya untuk kota atau kabupaten saja). Para pendukung PPSM ini biasanya menempati tribun utara dan timur stadion. Stadion Abu Bakrin saat itu masih sangat old school. Sebelah barat lapangan masih terdapat bak pasir dan ada tiga tiang bendera di dekatnya. Ilalang pun masih tinggi menjulang di tribun selain tribun barat. Terutama tribun timur, cerita tentang adanya ular yang hidup disana masih sering menjadi perbincangan orang.
Di zaman-zaman
itu banyak cerita berkesan di benak saya, terutama saat pertandingan
berlangsung. Sebelum pertandingan dimulai, semua pendukung telah menempati
posisinya di tribun masing-masing, juga para pedagang arem-arem dan siomay yang
sudah hilir mudik menjajakan dagangannya. Suara nyanyian di tribun utara dan
timur sudah meriah sejak jam setengah tiga. Sementara itu di tribun barat,
penonton hanya sekali-dua kali saja ikut bernyanyi. Mereka lebih santai, duduk,
ngobrol, berbincang tentang apa yang akan terjadi di pertandingan nanti sambil
mencoba menebak-nebak siapa pemain yang akan cetak gol. Semua orang di stadion
terlihat antusias menanti-nantikan kesebelasan yang mereka cintai masuk ke
lapangan. Sampai akhirnya para pemain memasuki lapangan, penonton di tribun barat
sejenak berdiri, sebuah bentuk penghormatan kecil untuk para pejuang di
lapangan yang akan bertarung membawa nama baik PPSM Magelang. Sepuluh menit
berikutnya, peluit tanda dimulainya pertandingan telah dibunyikan. Gemuruh para
pendukung semakin membahana dan pancaran keceriaan penghuni stadion seakan
bercerita betapa gembiranya mereka kembali menyaksikan sang kebanggan berlaga.
Selama
pertandingan berjalan, saya banyak menemukan titik-titik keceriaan di wajah
para penonton. Keceriaan muncul karena sebab yang berbeda-beda, misal dari Bapak-bapak
setengah baya yang sepanjang pertandingan mengeluarkan bermacam kata-kata, yang
kebanyakan adalah umpatan yang kemudian bisa memancing gelak tawa seisi tribun.
Lontaran kata-kata yang dikeluarkan secara spontan dan tanpa sadar itu dia
lakukan dengan energi yang meluap-luap. Sampai tulisan ini dibuat, saya coba
mengingat-ingat kembali kata-kata apa yang dilontarkan tapi saya tetap susah
mengingatnya karena pada saat itu fokus saya lebih kepada pertandingan,
walaupun sekali-kali ikut tertawa mendengar si Bapak tersebut.
Ada juga
sumber keceriaan lain, yang ini dari seorang Pak Ustadz yang sangat setia
menonton PPSM. Hampir sama dengan kisah Bapak yang tadi, dia juga sering
melontarkan kata-kata selama berjalannya pertandingan. Bedanya, kata-kata yang
keluar dari mulut Pak Ustadz lebih agamis.
“Astaghfirullah...!!” begitu yang ia teriakkan saat tim sedang diserang,
“Allahu Akbar...!!” saat tim mencetak
gol. “Masya Allah....!!”. “Subhanallah.....”. Namun dari semua yang diteriakkan
Pak Ustadz, satu yang paling saya ingat, ketika ada pemain lawan cedera dan ditandu
ia teriak kencang sekali “La ilaha illallah...!!” lalu diikuti gelak tawa seisi
tribun dilanjut ucapan “La ilaha illallah...!!” bersama-sama. Ketika sang
pemain sudah ditandu sampai pinggir lapangan, kembai dia teriak “Tulung paculke
pinggir kene” tentu seisi tribun tak sanggup menahan tawa atas apa yang mereka
dengar dari mulut Pak Ustad itu.
Ada lagi cerita seorang pedagang yang ketika gol terjadi tanpa sengaja melempar daganannya ke penonton lain. Gratis deh. Tapi suatu ketika saat bench pemain lawan agak banyak protes, dia dengan sengaja dan penuh kesadaran melempar arem-arem dagangannya ke bench lawan. Sebuah pengorbanan dari sisi modal usaha.
Cerita lain dari luar tribun. Ketika akan berangkat bersama-sama teman dan menonton di tribun terbuka pasti ada tetangga yang nyeletuk “Mas, sangu shampo sisan, mengko ning stadion shamponan sisan” celetukan yang datang akibat tiap sore Kota Magelang hampir selalu diguyur hujan dan kita nonton di tribun terbuka yang sudah jelas dan pasti akan kehujanan. Tapi kita sikapi celetukan tadi dengan tertawa saja dan tak sekalipun menghiraukannya, tetap berangkat ke stadion.
Karena keceriaan yang didapatkan di stadion itu sangat bermacam-macam, hal ini juga lah yang menjadi alasan kuat kenapa kita harus menonton sepak bola langsung di stadion. Sebenarnya masih banyak lagi keceriaan di tribun yang mungkin terjadi. Intinya pada saat itu suasana masuk stadion penuh dengan harapan dan keceriaan. Untuk sekelas tim di kasta bawah, untuk sekelas tim yang dianggap tidak besar dan tidak banyak diberitakan media, yang juga tak banyak diketahui orang, atmosfer di dalam stadion yang seperti itu sangat-sangat luar biasa. Keceriaan yang tercipta karena kecintaan pada kebanggaan.
Entah mengapa akhir-akhir ini menonton PPSM di stadion tak seceria dulu. Serasa ada yang hilang. Sejak pindah ke stadion baru--yang pada saat itu masih bernama Stadion Madya, apalagi saat medio 2012, kita memang seakan-akan disuguhi harapan masa depan yang cerah bagi PPSM di masa mendatang. Apalagi pelatih sekelas Danurwindo didatangkan dan KDY sang legenda sepakbola Indonesia asal Magelang berhasil direkrut. Awalnya suasana stadion lumayan ramai, dengan kapasitas yang lebih besar dibanding Abu Bakrin, kita masih sanggup memenuhi tribun barat dan tribun timur. Tetapi makin kesini stadion makin sepi. Masalah PSSI beberapa tahun lalu jelas jadi salah satu penyebab, hingga imbasnya berdampak ke dualisme di tubuh PPSM. Selain itu, praktis sejak dilarangnya penggunaan dana APBD di sepak bola, kita kurang bisa survive menghidupi klub hingga klub dinilai kurang bersaing. Ini jadi masalah besar untuk kita, bukan hanya manajemen saja. Beberapa faktor tersebut mungkin sangat signifikan mempengaruhi hilangnya segala keceriaan yang tadi diceritakan. Namun apa boleh buat, ada yang bilang “klub kecintaan adalah pemberian Tuhan”, untuk itu mari kita berdoa agar semua elemen yang menyangkut sang kebanggan kita bisa terus memperbaiki diri. Tugas kita semua hanyalah “lakukanlah yang terbaik sesuai porsimu”, sebagai pendukung minimal kita menonton membeli tiket dan berikan kritik yang membangun untuk manajemen. Membangun memang sulit, tapi mungkin jika kita bisa beriringan bersama-sama akan terasa lebih ringan. Perlahan tapi pasti, sampai ketika nanti Sang Macan menunjukkan taringnya kembali. Terakhir, teruntuk kalian yang masih setia dan menyimpan harapan besar untuk PPSM, hormat setinggi-tingginya dari saya. Sampai bertemu lagi nanti di keceriaan Stadion Soebroto!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar